BIRRUL WALIDAIN kah ini?

Senin, 22 Februari 2010

21 Februari 2010

Di umurku 20 tahun ini aku masih belum menemukan apa sebenarnya potensi dalam diriku ini.... Umur 20 tahun itu bukan umur yang muda lagi... Sudah saatnya untuk berfikir ke depan, tapi apa potensiku? Ini semua karena oarngtuaku. Y Allah, inikah birrul walidain itu?

Juni, 2006

Q lulus!!! Yuhuuuu, akhirnya berakhir juga masa2 SMA ku... Sekarang aku akan berganti title menjadi mahasiswa. Mahasiswa, makhluk berpakaian rapi yang melakukan segala sesuatu tanpa ada campur tangan pihak lain, makhluk yang bebas... Pikirku...

Pengumuman ujian dibacakan, aku dapet peringkat 2 umum. Orangtuaku luar biasa bangga denganku. Yah, inilah aku dengan orangtua yang memiliki semangat tinggi akan menuntut ilmu. Aku mencintai mereka. Setelah masa2 kelulusan dan pesta di sana sini berakhir, akupun mulai merancang masa depanku. Aku terduduk terpaku di depan meja belajarku sambil memandangi lukisan -Gadis dalam Cermin-. Lukisan yang berisi semangatku, lukisan yang membuatku yakin pada diriku, lukisan yang membuatku bangga akan diriku. Tapi bukan untuk orangtuaku.

Lukisan itu aku buat beberapa bulan silam, yang mendapat pujian dari Pak Sirajudin, guru kesenianku. Aku sangat senang pada saat itu. Dan sejak itu aku merasa bahwa potensi ku memang di bagian seni. Aku akan memilih jurusan Seni Rupa. Pasti aku akan total di dalamnya. Ketika hal itu aku utarakan ke orangtua ku, tak ada kalimat larangan yang aku tangkap. Tapi aku tahu bahwa mereka melarangku.

“Kamu mau jadi apa dengan jurusan itu Nak? Ilmu itu bukan yang seperti itu, ilmu itu yang seperti kau pelajari tiap hari di kelasmu. Fisika, Kimia, Matematika, Geografi, dsb. Itu baru yang namanya ilmu”

Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku tak turut andil dalam biaya kuliahku, di sisi lain aku juga ingin berbakti kepada kedua orangtuaku. Okelah, aku tak jadi masuk Seni Rupa, tapi aku tak mau memilih jurusan Matematika. Sama sekali tidak mau. Ungkapku. Mungkin itu karena selama perjalanan karier sekolahku tak ada guru Matematika yang berwajah teduh. Gimana mau teduh, rambut aja kagak ada. ^_^

Masa SMPB tiba, aku menginjakkan kakiku di sini, Malang. Modalku hanya ijazah, pakaian, uang secukupnya, dan beberapa biji buku pelajaran yang kubawa. Aku masih belum membawa jurusan. Aku masih belum tahu jurusan apa yang akan aku pilih nantinya. Suatu jalan yang nekat menurutku. Semua calon mahasiswa disana sedang berkutat dengan bimbingan belajar mereka masing-masing. Dengan modal tekad jurusan yang sudah mereka pikirkan jauh-jauh hari sebelumnya. Sedangkan aku? Sama sekali tak terfikirkan.

Lembar formulir SPMB itu masih saja kupegang. Aku masih ragu mau memilih jurusan apa, Biologi? Fisika? Kimia? Tidak Matematika. Jurusan yang berlabel “Jurusan menuju Birrul Walidain”. Akhirnya, Fisika menjadi pilihanku... Kubundari form itu dengan hati-hati. Bismillah, aku harus melakukan yang terbaik untuk orangtuaku.

Ujian pun tiba, mantan siswa SMA hadir dari berbagai daerah dengan raut keyakinan masing-masing. Merka akan memberikan yang terbaik di hari ujian ini. Begitu pula kah denganku? Mungkin iya…

Pengumuman SMPB pun tiba, aku dan teman seperjuanganku pun bergegas ke warnet untuk memeriksa keberhasilan kami. Dan hasilnya, kami diterima di jurusan masing-masing. Temenku di jurusan Ilmu Keperawatan, sedangkan aku di jurusan Fisika. Senang bercampur takut kurasakan saat itu. Senang karena aku berhasil membuat orangtuaku bangga, dan takut menatap hari esok apakah aku bisa melanjutkan perjuanganku ini bersaing dengan teman-teman jurusanku yang sebelumnya sudah lebih dulu berminat dengan Fisika…. Entahlah, kujalani saja.

Mulai saat itu aku belajar mencintai Fisika dengan sepenuh hati, dengan cara menciumi bukunya ketika hendak belajar, menyampuli bukunya agar gak cepat robek, dan lain sebagainya. J

Di tahun pertama aku sudah terpilih menjadi panitia Munas di jurusanku. Musyawarah Nasional yang akan dihadiri oleh seluruh Mahasiswa Fisika se Indonesia. Dan di tahun kedua aku tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Fisika sebagai pengurus. Nilai-nilai ujianku juga di atas rata-rata. Orangtuaku semakin bangga denganku. Alhamdulillah, akhirnya aku kuat melewati ini semua lirihku. Meskipun ada sedikit ruang yang masih belum kering akan luka Seni Rupaku yang entah hilang kemana.

Mungkin Allah punya rencana indah tersendiri buatku… lirihku menenangkan hatiku sendiri.

Oktober, 2006.

“Bu, Aku pengen masuk UKM itu….” Ucapku pada Ibuku.

“Taekwondo? Y gak apa2, nyambi olahraga.” Jwab Ibuku.

Cihuyy… Akhirnya sekarang aku punya kesempatan untuk melakukan sesuatu yang bener2 aku inginkan. Aku memang tertarik dengan Martial Art. Keren menurutku.

Bulan November ini pasca diklat aku resmi menjadi Taekwondoin. aku benar2 merasakan indahnya Taekwondo. Latihan setiap Minggunya kulakukan dengan multispirit. Aku langsung jadi panitia di Diklat selanjutnya. Dan jadi Pengurus Inti di tahun berikutnya. Aku bener2 total didalam organisasi impian ku itu. Pelatihku juga menyukai tendanganku, yang membuatku membatin mungkin ini potensiku yang sebenarnya. Aku menceritakan semua itu kepada Ibuku. Cuma satu jawaban Ibu ku : “Coba di Fisika semangatnya juga kayak gitu….” Aku sempat tergugu terpaku. Aku bisa menarik kesimpulan, sepertinya Ibu mulai gerah dengan Taekwondoku ini. Sampai pada suatu hari.

“Bu, aku mau ikut kejuaraan”

“Fisika?”

“Aduh Bu, mana ada kejuaraan Fisika, yang ada Olimpiade Fisika lagi. Bukan pelajaran, tapi Kejuaraan Taekwondo…”

“Ap? Aduh Nak. Ibu gak mau ngelarang, tapi terserah Kakak dah. Ibu gak mau komen apa2”

Aku berfikir, aku tak mungkin melanjutkan ini sampai pada Kejuaraan. Sebejat-bejatnya aku gak sampai nekat kayak gini. Kalo aku cedera sampe patah tulang gimana. Akhirnya kuurungkan niatku untuk ikut bertanding, demi…. Lagi-lagi Birrul Walidain, yang -katanya- artinya berbakti kepada orangtua. Sejak itu aku tak terlalu bersemangat latihan, karena Ibuku lama kelamaan merasa risih karena satu-satunya anak perempuannya ikut beladiri. Ngalahin sodara cowoknya. Oke, terserah. Aku tak mau jadi anak durhaka. Sekali lagi, setelah jurusan itu, pilihanku di handle orangtuaku.

“Yakin Nel, Allah punya rencana indah yang lain buatku….” Lirihku.

Juni, 2008

“Ayolah Nel, ikut organisasi itu.”

“Heh, kalo ngejek jangan parah gini dunk. Gimana aku mo ikut. La wong di dalamnya orang-orangnya al Quran Online semua, Q jadi apa di dalem sana. Melongo sendiri. Goblok sendiri”.

“Alah, hiper amat sih khayalannya, wes ta aku juga gak hafal semuanya kok. Ayo, kapan lagi lo tobatnya…”

“Asem lu. Tau sendiri kan? Background pendidikan ku kayak apa. SD, SMP, SMA, no pesantren, no kitab kuning, no pengajian. Mana aku nyambung masuk organisasi itu”

“Berarti mulai sekarang waktumu untuk berubah. OK. Bsok siang aku tunggu kamu di stan pendaftaran”

“Eh, Ry.. Emmoh, aku belum mau tobat woy. ..”

“Pokoknya besok di stan” teriaknya sambil berlalu pergi.

Temanku Rifa itu memaksaku untuk masuk organisasi para penghafal al Quran. Yang benar saja. Aku punya apa untuk aku kontribusikan kepada organisasi itu. Lancar ngaji aja udah Alhamdulillah. Waduh, kalo ngafalin kayaknya enggak deh. Nilai bahasa Arabku aja pas2an. Lagipula, mana pantas cewek Taekwondoin yang maennya sama cowok gini ikut organisasi kayak gitu. Entar aku malah gak bebas pake baju keren lagi. Organisasi itu buat anak2 pesantren yang dari dulu emang udah terbiasa dengan itu semua. Terbiasa kemana-mana pake sarung. Aku ya gak pantes. Nanti aku malah malu mau latihan Taekwondo.

Semaleman aku memikirkan hal itu. Di satu sisi aku merasa gak pantes sama sekali bergabung dengan organisasi itu. Disisi lain aku merasa takut akan kehilangan latihan Taekwondo. Muslimah hafidzah kok belajar beladiri. Kayak cewek liar aja. Berbagai macam komentar yang aku ciptakan sendiri memenuhi ruang edar pemikiranku.

“Aku jadi ikut”

“Alhamdulillah, yuk. Dah bawa foto sama duit pendaftarannya?”

“Udah”

Akhirnya aku ikut organisasi itu. Selain melegakan ajakan temanku aku juga pengen belajar ngaji supaya bacaanku lebih baik. Tapi kalo seandainya organisasi ini bikin aku renggang dengan Taekwondoku. Aku milih untuk gak aktif lagi. Daripada Taekwondo ku hilang. Aku sudah bahagia dengan Everything of Taekwondo.

Hingga pada suatu liburan yang memutarbalikkan semua pemikiran negatifku dengan organisasi itu. Aku ikut acara Komunitas Pelajar al Quran selama masa liburan. Selama 3 minggu penuh. Aku menemukan ketakjuban al Quran sejak saat itu. Aku mencintai al Quran. Aku merasa beruntung hatiku masih digerakkan oleh Allah untuk gabung dengan organisasi ini. Semangatku untuk mengenal lebih dalam dengan Kalamullah meletup-letup sejak saat itu. Aku semangat untuk mulai mempelajari dan bila perlu menghafal al Quran. Aku mau ikut andil dalam mejaga kemurnian kitab suci, surat cinta dari Allah itu.

Rencana Allah memang indah. Pasti orangtua ku akan bahagia mendengar ini.

“Bu, aku sekarang masuk organisasi baru lagi. Organisasi para penghafal al Quran, gak dikit lo Bu yang hafal 30 juz. Keren kan?” laporku berapi-api.

“Ooo, bagus lah. Oy, sepertinya organisasi itu pantesnya buat si ini, si itu…deh. Iy kan?”

“Ehmm, iya Bu…”

Jauh di luar dugaanku. Ibuku malah menyebutkan nama temanku yang lain yang beliau anggap berkompeten dengan ilmu al Quran. Kenapa aku tak disebut? Aku anakmu Bu…. Tak inginkah anakmu ini menjadi seperti hafidzah2 itu? Padahal aku berharap mendapat sedikit motivasi dari Ibuku. ternyata aku malah mendapat lontaran kata-kata seperti itu. Hatiku memberontak sebenarnya. Y Allah, yang kupelajari kali ini adalah kalam Mu. Rencana indah apalagi yang Kau tetapkan padaku? Salahkah aku y Allah?

Begitulah keluargaku. Orangtua yang sangat menjunjung tinggi yang namanya ilmu, pengalaman, kejujuran. Tapi mereka lebih tertarik dengan ilmu eksak. Mungkin karena memang di lingkunganku jarang yang masuk pesantren. Apalagi menghafal al Quran. Yang dibanggakan oleh para orangtua di kampungku hanya Olimpiade Fisika, juara kelas, juara Puisi, muak rasanya. Sejak percakapan di telpon saat itu aku sama sekali tak pernah menyinggung masalah al Quran di setiap percakapanku selajutnya. Aku tak mau terkecewakan untuk kedua kalinya. Kujalani saja semuanya sendiri dengan istiqomah yang terkadang redup. Tapi bagaimanapun aku tetap lemah dan cengeng apabila di setiap langkahku tak di motivasi oleh orangtuaku. Satu-satunya hal yang bisa bikin aku cengeng hanya Keluarga, especially Ibu en Bapak. Tak ada yang lain. Apalagi dalam hal ini aku butuh adaptasi ekstra, karena aku memang belum memahami ini semua sebelumnya. Lagipula, leluhurku belum ada yang pernah menghafalkan al Quran. Berat rasanya melanjutkan ini semua.

Mungkinkah aku berhenti sampai disini? Maafkan aku y Allah, mungkin aku belum bisa mencintai kedua orangtuaku karena Mu.

Agustus, 2030

Hari ini aku baru saja menghadiri rapat para Kepala Stasiun Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika di Balai III wilayah Bali. Setelah ini, aku akan menghadiri wisuda tahfidz buah hatiku. Yang menjadi impianku ketika muda dulu Allah berikan ke keturunanku. Sejak saat aku merasakan kehilangan dalam pencarian jejak potensiku sendiri, aku mulai bertekad untuk menjalani setiap pekerjaan semaksimal mungkin. Apapun itu. Karena aku yakin Alllah menyimpan potensi itu di setiap kerja keras hamba Nya. Sekarang aku merasakan indahnya birrul walidain yang sempat kuanggap sebagai penghancur potensiku….

…Seandainya aku memilih jurusan Seni Rupa, mungkin aku tak bisa seberhasil dan seberuntung ini.

…Seandainya aku jadi ikut kejuaraan Taekwondo saat itu mungkin aku tak punya waktu lagi untuk hal lain. Semua nya kupertaruhkan untuk Taekwondo, aku tak mungkin menjamah organisasi Pelajar al Quran itu.

…Seandainya Ibuku tak berkata seperti itu mungkin aku tak sungguh-sungguh belajar al Quran karena Allah Ta’ala.

Allah memang tak memberikan apa yang kita inginkan, tapi Allah memberikan apa kita butuhkan. Fa bi ayyi aala irabbikuma tukadzdzibaan?

0 komentar:

Posting Komentar

Featured Posts